Rabu, 22 Januari 2025, WIB
Breaking News

Minggu, 19 Jul 2020, 08:17:07 WIB, 4562 View Admin, Kategori : Teknologi

Pegiat kebebasan berekspresi mengatakan kehadiran pendengung (buzzer) menjadi tantangan baru dalam menyampaikan pendapat di dunia maya. Bagaimana sebaiknya kita menyikapinya?

Rabu (10/06) pekan lalu, musisi Teuku Adifitrian alias Tompi mengeluh di Twitter soal tagihan listrik yang menurutnya "menggila".

Ia heran mengapa tagihan listrik untuk kantornya bisa begitu besar, padahal kantor itu tutup selama tiga bulan. Pria yang berprofesi sebagai dokter dan penyanyi itu mengkritik PLN, yang ia sebut tidak melakukan konfirmasi kepada dirinya.

Cuitan Tompi mendapat ribuan likes dan retweet. Namun ia juga diserang oleh sejumlah akun yang menyebutnya "kampret", julukan yang digunakan para pendukung Presiden Jokowi untuk mengejek pendukung Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden. Padahal, keluhannya itu tidak ada kaitannya dengan Pilpres.

Kepada BBC News Indonesia, Rabu (17/06), ia mengatakan bahwa sasaran kritiknya ialah cara komunikasi PLN. Belakangan, twitnya mendapat balasan dari PLN dan keesokan harinya ia pun bertemu dengan petugas PLN untuk memperjelas masalahnya.

Tompi bukan satu-satunya orang yang mengeluhkan tagihan listrik PLN saat itu. Tagar #TagihanPLNOKsaja digunakan untuk melawan keluhan para pelanggan. Akun-akun yang mempromosikan tagar itu diduga akun baru atau akun robot, lansir Jakarta Post.

Lantas, bagaimana Tompi menyikapi akun-akun yang menyerang dirinya? "Nggak peduli," katanya. Ia percaya kebanyakan akun yang menyerang dirinya itu adalah akun robot.

Tompi menilai para pendengung atau buzzer yang menyerangnya itu tidak layak dilayani, dan karena itu "dicuekin aja". Menurutnya, dalam berinteraksi di media sosial warganet harus memilih "lawan yang sebanding", yaitu orang yang bisa diajak berdiskusi.

"Kalau misalnya yang komentar itu orang yang menurut kita enggak berbobot ya cuekin aja," kata Tompi. "Tapi kalau yang kita lihat ini berbobot nih, penyampaiannya menarik, kontennya bagus, punya pemikiran berbeda, saya layanin. Malah saya ingin tahu, jangan-jangan saya yang salah."

Pengalaman Tompi juga dialami, mungkin lebih parah, oleh komedian Bintang Emon pekan ini.

Sejumlah akun di Twitter menuding laki-laki dengan nama asli Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra itu menggunakan narkoba jenis sabu. Serangan tersebut ia terima setelah membuat video komedi yang mengkritik hukuman yang diajukan jaksa pada pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Analisis media sosial oleh Drone Emprit mendapati bahwa akun-akun yang menyebar tudingan itu hanya memiliki sedikit pengikut dan saat ini telah di-suspend. Diduga kuat, mereka adalah akun-akun buzzer.

Apa yang terjadi pada Tompi dan Bintang Emon membuat banyak warganet merasa ada upaya pengekangan terhadap kebebasan berpendapat di dunia maya.

Organisasi pemantau kebebasan berekspresi di internet, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), menilai pendengung telah menjadi pihak yang mengancam kebebasan berekspresi.

Kepala divisi kebebasan berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas, mengatakan buzzer selalu bergerak untuk merisak siapapun, terutama kelompok pro-demokrasi, yang melakukan kritik terhadap kebijakan penguasa.

"Ini tantangan yang harus dihadapi bersama oleh masyarakat yang selama ini bergerak di isu HAM ataupun anak-anak muda seperti Bintang Emon yang ingin menyuarakan aspirasinya untuk ikut mengkritik persoalan di bangsa ini," ujarnya.

Bagaimana cara kerja buzzer?

Penelitian Center of Innovation and Policy Governance (CIPG) pada 2017 mengungkap pihak yang berada di balik buzzer biasanya merupakan perusahaan/korporasi atau partai/tokoh politik. Mereka membayar satu agensi komunikasi, yang kemudian mengkoordinasikan penyebaran pesan dengan jaringan pemengaruh (influencer) yang telah mereka rekrut.

Menurut penelitian tersebut, strategi pendengung mulai digunakan oleh perusahaan untuk mempromosikan produk pada 2012. Baru pada 2014, pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, buzzer terlibat dalam peristiwa politik. Dan pada pemilu 2014, buzzer digunakan secara luas untuk kepentingan politik.

Ika Ningtyas dari SAFEnet menjelaskan, ada tiga bentuk serangan yang biasa digunakan oleh para pendengung. Pertama, menyebarkan isu atau disinformasi (seperti yang terjadi pada Bintang Emon). Kedua, manipulasi informasi untuk menjatuhkan citra. Ketiga, membeberkan informasi pribadi atau doxxing.

Serangan-serangan itu bisa menciptakan ketakutan pada warganet yang ingin mengkritik kebijakan publik atau menyuarakan isu-isu sosial dan HAM, menurut Ika.

Pengamat tata kelola internet, Shita Laksmi, mengatakan para buzzer bekerja dengan melacak isu-isu tertentu.

Ia bercerita bahwa jumlah followers-nya di Twitter bertambah puluhan dalam tiga hari - hal yang tak pernah terjadi sebelumnya - ketika ia mengganti namanya akunnya di Twitter dengan tagar #IndonesiaTerserah sebagai solidaritas kepada tenaga medis yang kecewa dengan kebijakan pemerintah dalam menangani wabah Covid-19. Akun-akun yang mengikutinya itu tidak punya pengikut sendiri, atau memiliki pengikut di bawah 20 orang.

"Jadi sepertinya mereka melacak tagar yang mewakili isu tertentu. Dan bersifat counter (melawan) isu tertentu," kata Shita. Ia mencontohkan tagar #TagihanPLNOksaja, yang digunakan untuk melawan keluhan dari para pelanggan PLN seperti Tompi.

Shita khawatir tindakan buzzer bisa menyebabkan masyarakat segan dalam berekspresi, menciptakan efek yang disebut chilling effect. Ia menjelaskan:

"Kalau kita mendapatkan teguran, atau kita melihat akun-akun yang similar (serupa) dengan kita mendapat teguran, kita kemudian bisa berpikir 'harus lebih hati-hati'

"Atau kalau kita di-email sama Twitter, mengatakan bahwa ada orang-orang yang minta kiriman kamu ditarik karena melanggar hukum, misalnya, kan jadi tidak akan mudah melakukan hal yang sama. Pasti nggak nyaman lagi kan ... Masyarakat secara umum pasti berpikir dua kali kalau mau ngetwit yang macam-macam."

Lebih jauh, Shita berpendapat bahwa pendengung bisa memengaruhi proses demokrasi secara keseluruhan karena mereka menciptakan kebisingan yang bisa membajak percakapan alami di dunia maya. "Diskusinya jadi tidak tulus lagi, tidak organik," ujarnya

Bagaimana membedakan buzzer dengan akun biasa?

Analis media sosial dan pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, menjelaskan bahwa ciri khas buzzer ialah sifat mereka yang terkoordinasi untuk membangun narasi tertentu dalam periode pendek. Konten-konten mereka – bisa dalam bentuk teks, meme, atau video – isinya hampir sama dan disebarkan secara bersama-sama.

Ia menambahkan bahwa buzzer bisa berupa akun robot, atau bot,maupun manusia.

Menurut Ismail, warganet umumnya sudah bisa mengenali akun buzzer. Yang sulit dihindari, kata Ismail, ialah terlibat dalam perdebatan yang diciptakan oleh buzzer.

"Ketika ada perdebatan, netizen tidak bisa lepas. Ada pro dan kontra, perdebatan tanpa ujung... [Itu karena] sudah ada polarisasi sebelumnya dari netizen. Itu yang membuat mereka terlibat dalam flame war," ujarnya.

Bagaimana sebaiknya menyikapi buzzer?

Ismail mengatakan bahwa buzzer pada dasarnya netral, bisa digunakan berbagai keperluan dari promosi produk hingga politik. Bagaimanapun, menurutnya warganet harus selalu kritis pada narasi yang dibangun oleh buzzer.

"Kadang-kadang buzzer itu menyampaikan pandangan politik tertentu yang kira-kira tidak berbahaya, ya sudah biarkan saja. Ada juga yang membangun satu opini, pendapat yang mungkin merugikan publik secara umum... [Saat itu] saya kira publik harus bersuara," ujarnya.

Ia mencontohkan kasus Bintang Emon, yang memicu gerakan solidaritas dari warganet secara umum – bukan kelompok yang pro atau kontra terhadap rezim –, dipimpin oleh para komika dan pengikutnya. Emon menjadi sosok yang mewakili mereka untuk menyampaikan pendapat dengan cara yang kreatif.

Ismail juga mengingatkan supaya warganet menyampaikan aspirasi di internet dengan bertanggung jawab karena opini yang tidak berbasis fakta dan data bisa merugikan publik.

"Bisa jadi sebuah opini yang tendensius, nggak berbasis bukti, itu disukai sebagian publik sehingga publik ramai-ramai mengamplifikasi padahal itu salah."

Ika Ningtyas dari SAFEnet memandang serangan buzzer terhadap mereka yang mengkritik penguasa sebagai peluang untuk mempererat solidaritas.

"Ini harus ditantang balik oleh kelompok prodemokrasi. Karena kalau dibiarkan, dan kita menjadi takut, apa yang dilakukan oleh buzzer ini berhasil," tuturnya.

Ia menekankan bahwa hak untuk menyuarakan aspirasi dilindungi oleh konstitusi.

Bagi warganet yang ingin mencegah diri agar tidak termakan oleh narasi buzzer, Ika menyarankan agar jangan menelan mentah-mentah informasi dari media sosial.

"Bandingkan informasi dengan pemberitaan yang kredibel, sehingga perdebatan yang terjadi bisa kita verifikasi kebenarannya," kata Ika.

Sumber : BBC



Kemenag Karawang gelar pelatihan Jurnalistik bagi Para Humas.
Jumat, 02 Agu 2024, 17:59:58 WIB, Dibaca : 1006 Kali
Fatwa Saudi, shalat Jumat tidak wajib untuk shalat Idul Fitri
Selasa, 18 Apr 2023, 11:30:17 WIB, Dibaca : 5552 Kali
Bos Apple kirim pesan bias ke WNI di iPhone
Selasa, 18 Apr 2023, 10:52:50 WIB, Dibaca : 1237 Kali

Ada 1 Komentar
  • Danuta, 20 Jul 2020, 15:58:25 WIB
    Thank you for consisting of the lovely pictures-- so vulnerable to a
    feeling of contemplation.
Tuliskan Komentar